Kamis, 28 Maret 2013

Kisah Jilbab Pertamaku


Oleh Shabrina Manarul Firdaus

Ufuk matahari telah menyinari bumi. Pertanda pagi telah datang di bagian belahan bumi saat aku berpijak. Aktifitas pagipun terasa begitu sejuk dan damai. Embun terasa di sudut dan celah-celah tumbuhan. Burung-burung kecil berkicau ria nan elok berterbangan di atas tumbuhan. Tukang-tukang penjual mendorong gerobaknya keliling perumahanku, meramaikan pagi yang cerah ini dan sedang menjajakan dagangannya,
“sayuur.. sayuur..” begitulah bunyi salah satu pedagang di sekitar rumahku.
 Ibuku segera mengambil sedikit uang dan berjalan menuju pedagang sayur tersebut, tak lupa dengan jilbab indah terjuntai di bagian kepala hingga dada sehingga menutupinya dengan rapi.
 Sedangkan aku, aku bersiap-siap menuju sekolah. Aku bersekolah di SDN 022. Aku saat ini sedang menduduki bangku kelas 5 SD. Saat itu, aku belum mengenal yang namanya “jilbab” hanya melihat ibuku yang memakainya sangat elok dan cantik jika dilihat.
Setelah bersiap diri, aku langsung menyantap masakan ibuku tercinta. Tak pernah aku rasakan makanan seenak makanan ibuku. Setelah selesai makan, akupun bergegas menuju teras rumah untuk memakai sepatu sekolah. Tak lupa, ibu memberiku sebekal makanan enak, untukku di sekolah.
Sesampainya di sekolah, aku disapa oleh teman sekelasku yang cantik dengan memakai jilbab putihnya itu. Entah kenapa, aku senang melihat perempuan-perempuan yang memakai jilbab. Tapi aku sendiri belum siap untuk memakainya, karena aku belum cocok dengan kondisi yang berbeda seperti aku lihat.
“hai syasya !”, kata temanku.
“hai hana !”, dengan senyum semangat aku menjawab sapaannya.
“hei ! bukannya kamu udah janji mau memakai jilbab yang kuberikan pada pagi ini ?”
“emmnn.. aku masih malu melakukannya..”, kataku dengan ragu.
“wahh.. sayang sekali.. padahal kamu terlihat lebih cantik daripada kamu tidak memakai jilbab”, nasihat temanku.
Aku hanya bisa terdiam, mendengar nasihat temanku itu. Entah bagaimana, aku masih belum siap dengan kondisi yang tidak biasa aku kenakan. Aku memang orang yang susah beradaptasi. Teman saja, hanya beberapa yang aku kenal di sekolahku. Hana adalah teman pertama dan setia bersamaku, walaupun aku cuek dan sangat pendiam terhadapnya, dia tak pernah mengeluh dengan pertemanan kita.
Bel sekolah berbunyi, saatnya aku pulang ke rumah. Aku bergegas keluar dari kelas.
 Dalam perjalanan pulang, aku melihat anak kecil, umurnya kurang lebih 7 tahun. Dia menangis di tepi jalan yang sedang aku lewati.
“huuu..huu..huu..” , terdengar tangisan anak kecil itu.
“ada apa dik ? mengapa kamu menangis ?” , tanyaku kepadanya.
“aku.. aku kehilangan jilbab kak..”
“oh begitu.. kakak belikan yang baru yaa..? ”
“tapi jilbab itu, jilbab pertama yang diberikan ibu aku kak.. dan hanya itu satu-satunya jilbab yang aku punya”
Aku terdiam mendengar jawaban anak kecil itu, aku seketika teringat saat orang-orang sekitar ku, menasihatiku hingga memberikan jilbab yang begitu indah. Dan sampai saat ini, aku tak pernah menyentuhnya sekalipun. Sedangkan anak kecil ini, sangat menghargai jilbab yang dikenakannya pertama kali.
Bergegas aku memasuki rumah dan memberikan jilbabku yang masih baru kepada anak tersebut.
Teringat kejadian tadi, aku langsung ingin memakai jilbab tanpa bertanya lagi dengan diri sendiri maupun orang disekitarku. Aku mengambil sehelai jilbab tipis pemberian Hana. Aku belajar memakainya hingga menutupi kepalaku.
Keesokan harinya di sekolah, dengan percaya diri tanpa ragu lagi, aku mengenakan jilbab nan indah ini ke sekolah. Hingga aku bertemu dengan Hana.
“waahh… cantik sekali kamu sya ! kayak yang di tipi-tipi itu looh…” , tegur Hana dengan semangat 45-nya.
“hehe… aku senang kalau kamu senang han..”
Semenjak saat itu hingga waktu memisahkan aku dan bumi Allah ini, aku tak ingin melepas jilbab yang terjuntai indah dan melekat di kepalaku. Aku tersadar, bahwa jilbab bukan hanya untuk menutupi, tapi juga untuk melindungi dari perbuatan-perbuatan yang negative.