Pada
masa silam, manusia bepergian dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat
yang lain dengan membawa barang atau perbekalan di atas punggungnya. Sebagian
yang lain bepergian dengan menunggang hewan tunggangan sambil membawa berbagai
muatan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلا بِشِقِّ الأنْفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (٧)وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Dan
ia (hewan ternak) mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak
sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Rabbmu Maha Pengasih,
Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu
ketahui.” (QS. An-Nahl: 7-8)
Adapun
di masa sekarang, begitu mudahnya seseorang untuk bepergian dari satu tempat ke
tempat yang lain dalam waktu cepat tanpa banyak mengeluarkan tenaga dan
pikiran, walaupun terkadang tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan.
Kendaraan
sebagai bukti kasih sayang Allah
Kendaraan
merupakan salah satu nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan
kepada manusia. Hal ini juga sebagai bukti curahan kasih sayang Allah Ta’ala kepada
para makhluk-Nya. Hal ini karena segala nikmat yang kita terima atau musibah
yang kita terhindar darinya merupakan tanda kasih sayang Allah Ta’ala kepada
kita. Allah Ta’ala berfirman
وَآيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ (٤١)وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ (٤٢)
“Dan
suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah Kami angkut keturunan mereka
dalam perahu yang penuh muatan, dan Kami ciptakan bagi mereka (angkutan lain) seperti
apa yang mereka kendarai.” (QS. Yasin: 41-42)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika
menjelaskan ayat di atas, “Tanda dalam ayat tersebut maksudnya adalah
tanda kekuasaan Allah. Namun, di dalamnya juga terdapat tanda yang lain, yaitu
rahmat Allah kepada makhluk, serta kenikmatan yang diberikan kepada kita.” Selanjutnya
beliaujuga menerangkan bahwa ayat tersebut menjadi dalil atas kekuasaan
Allah Ta’ala, rahmat, dan karunia-Nya bagi kita, yaitu dengan
adanya perahu untuk mengarungi lautan menuju ke tempat yang lain, mengangkut
manusia, hewan-hewan ternak, dan semua yang bermanfaat untuk kita. Dan
Allah Ta’ala menjadikan perahu tersebut nyaman untuk
dikendarai sebagai nikmat bagi kita semua.
Ayat
di atas juga menerangkan nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan
kepada manusia berupa pengetahuan mengenai tata cara pembuatan perahu.
Seandainya tidak ada perahu, tentunya seseorang tidak akan mampu menyeberang
sungai dan lautan untuk menuju tempat tujuannya. Namun, Allah Ta’ala memberi
pengetahuan tentang tata cara membuatnya, sehingga seseorang dapat menjangkau
tempat tujuannya tersebut.
Allah Ta’ala mengajarkan
manusia cara membuatnya
Keahlian
manusia dalam memproduksi suatu kendaraan canggih bukanlah semata-mata karena
kecerdasannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menunjang
kemajuan berbagai alat transportasi masa kini, tidak lain karena karunia yang
Allah Ta’alaberikan kepada kita. Jika bukan karena kehendak
Allah Ta’ala atas makhluk-Nya untuk memahami ilmu-ilmu tersebut,
tentu manusia tidak akan mampu memanfaatkan seonggok besi untuk membawa dirinya
ke suatu tempat tujuan. Bahkan Allah Ta’ala mengajarkan ilmu
tersebut kepada manusia agar dapat diterapkan.
Allah Ta’ala berfirman
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
“Dan
kami angkut Nuh ke atas (perahu) yang terbuat dari papan dan paku.” (QS. Al Qomar:
13)
Dalam
ayat ini Allah Ta’ala tidak langsung menyebut “perahu”, namun
menyebutnya sebagai “sesuatu yang terbuat dari papan dan paku”. Hal ini
mengisyaratkan adanya pengajaran dari Allah Ta’ala kepada
manusia tentang bahan baku pembuatan perahu. Seakan-akan AllahTa’ala mengabarkan
bahwa perahu Nabi Nuh ‘alaihissalam terbuat dari papan dan
paku agar menjadi contoh bagi manusia untuk membuatnya.
Allah Ta’ala menisbatkan
pembuatan perahu kepada diri-Nya seperti dalam ayat (yang artinya), “Kami
ciptakan untuk manusia semisal (perahu Nuh ‘alaihis salam) …”. Padahal
perahu tersebut dibuat oleh manusia (Nabi Nuh ‘alaihis salam),
bukan diciptakan oleh AllahTa’ala sebagaimana Dia menciptakan unta
yang kita tunggangi, kuda, dan yang serupa dengannya. Hal ini dikarenakan
Allah-lah yang mengajari manusia tata cara membuat perahu.
Ketika
nikmat berkendaraan terlupakan
Sering
kali manusia menganggap rumput tetangga jauh lebih hijau sehingga membuatnya
merasa perlu memiliki sesuatu seperti milik si tetangga. Orang yang hanya
memiliki sepeda akan terbetik dalam benaknya suatu angan-angan untuk memiliki
sepeda motor sebagaimana yang dikendarai oleh kebanyakan orang. Namun, bagi yang
telah memiliki sepeda motor, mungkin dia juga berangan-angan untuk memiliki
sepeda motor yang lebih bagus atau malah sebuah mobil yang dapat melindunginya
dari terik matahari dan hujan, demikian seterusnya. Obsesi tersebut dapat
menjadi bencana berupa lenyapnya kebaikan demi kebaikan sebagaimana lenyapnya
kayu bakar yang dilahap api, apabila diiringi dengan harapan hilangnya
kenikmatan tersebut dari tangan orang lain. Itulah hasad yang terlarang.
Untuk
mencegah hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telahmemperingatkan
umatnya agar tidak duduk-duduk di pinggir jalan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Tinggalkanlah
oleh kalian duduk-duduk di jalan-jalan”. Maka para sahabat
berkata, “Kami tidak bisa untuk tidak duduk-duduk di jalan-jalan karena
di sanalah tempat kami berbincang-bincang.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian menolak untuk tidak
duduk-duduk di sana, maka tunaikanlah hak jalan.” Mereka berkata, “Apakah
hak jalan itu?”Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan,
menyingkirkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang baik dan mencegah
kemungkaran.” (HR. Al-Bukhari)
Menundukkan
pandangan di sini maksudnya adalah menjaga diri dari memandang hal-hal yang
diharamkan, termasuk di dalamnya berupa memandang kemewahan-kemewahan duniawi,
misalnya kendaraan-kendaraan mewah yang lewat. Sehingga menyebabkan seseorang
menjadi panjang angan-angan, dan tidak mampu mensyukuri nikmat yang AllahTa’ala karuniakan
untuknya.
Ketika
orang musyrik zaman dahulu dan sekarang tertimpa marabahaya saat berkendaraan
Orang
musyrik zaman dahulu, mereka memohon kepada Allah Ta’ala dengan
penuh keikhlasan ketika kondisi genting meliputi dirinya saat berkendaraan.
Bahkan orang musyrik zaman dulu, yang tadinya menyekutukan Allah Ta’ala,
dengan serta-merta mereka meninggalkan sesembahan selain Allah demi mengharap
pertolongan Allah atas marabahaya yang menimpa mereka ketika berkendara di lautan.
Hal ini Allah Ta’ala kabarkan dalam firman-Nya
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإنْسَانُ كَفُورًا
“Dan
apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu
seru, kecuali Dia. Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu
berpaling (dari-Nya).”(QS. Al-Isra: 67)
Seperti
inilah keadaan orang-orang musyrik zaman dahulu saat tertimpa kesulitan ketika
naik kapal atau perahu di tengah lautan. Mereka mengikhlaskan ibadah hanya
kepada Allah Ta’aladan mengetahui bahwasanya Allah-lah satu-satunya
yang bisa menyelamatkan mereka serta tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain-Nya. Namun, manakala kondisi telah lapang (selamat sampai daratan),
mereka pun kembali menyekutukan Allah dengan sesembahan mereka.
Adapun
orang-orang musyrik zaman sekarang ini, sama saja bagi mereka antara kondisi
susah ataupun senang, mereka senantiasa melakukan kemusyrikan. Bahkan ketika
marahabahaya menimpa mereka ketika naik perahu atau kapal di lautan, semakin
parah-lah kemusyrikan yang mereka lakukan dengan meminta pertolongan kepada
sesembahan mereka selain Allah Ta’ala. Dan lebih-lebih lagi
ketika selamat sampai daratan, mereka akan semakin mengagungkan sesembahan
mereka -selain Allah- yang mereka yakini telah menyelamatkan mereka. Kondisi
seperti ini disebabkan karena ketidakfahaman serta kebodohan akan hakikat
tauhid yang melingkupi kebanyakan manusia zaman sekarang, wal ’iyaadzu
billah.
Mensyukuri
nikmat-Nya
Kendaraan
yang kita gunakan sebagai fasilitas untuk dapat pergi ke suatu tempat merupakan
suatu nikmat yang sepatutnya kita syukuri. Rasa syukur hamba terhadap Rabb yang
telah memberinya karunia ditunjukkan melalui lisan berupa pujian dan sanjungan,
dan juga melalui anggota badan dengan menundukkannya dalam ketaatan kepada
Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba
yang paling bersyukur, beliau memberikan keteladanan bagi umatnya ketika
berkendaraan yaitu dengan:
1.
Berdoa ketika naik kendaraan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk berdoa
(سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَـهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ) اَلْحَمْدُ لِلََّهِ اَلْحَمْدُ لِله اَلْحَمْدُ لِلََّهِ اَلْحَمْدُ لِله ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ ، سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Dengan
nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah yang menundukkan kendaraan
ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (pada hari kiamat). Segala puji
bagi Allah (3x), Allah Maha Besar (3x), Maha Suci Engkau, ya Allah!
Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada
yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”(HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi)
Doa
ini mengandung sanjungan kepada Allah Ta’ala yang telah
menjadikan kendaraan tersebut dapat dikendarai, padahal sebelumnya manusia
tidak memiliki kemampuan untuk mengendarainya. Di dalam doa ini juga terkandung
pengakuan bahwasanya kita akan kembali kepada Allah pada hari kiamat, serta
pengakuan atas kelalaian dan dosa yang telah kita lakukan.
2.
Bertakbir dan bertasbih selama perjalanan
Jabir radhiyallahu
‘anhu berkata, “Kami bertakbir ketika melewati jalan yang
naik, dan bertasbih ketika melewati jalan yang turun”. (HR. Al-Bukhari)
Maksudnya adalah ketika menaiki tempat-tempat yang tinggi mengucapkan: “Allahu
Akbar”, dan ketika menuruni tempat-tempat yang lebih rendah
mengucapkan: “Subhanallah”. Bertakbir manakala menaiki tempat yang
tinggi akan membuat kita merasakan kebesaran Allah Ta’ala serta
keagungan-Nya. Sedangkan bertasbih ketika menuruni tempat yang rendah akan
membuat kita merasakan kesucian Allah Ta’ala dari segala
kekurangan.
3.
Berdoa ketika kendaraan tergelincir
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang kita mengumpat setan ketika tergelincir dan
mengajarkan kita untuk mengucapkan, “bismillah”. Usamah bin ‘Umair radhiyallahu
‘anhumenceritakan, “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas tunggangannya tergelincir, maka aku berkata, ‘tergelincirlah
setan.’ Maka Nabi berkata, ‘Janganlah kamu katakan tergelincirlah
setan. Jika kamu berkata demikian, dia (setan) akan membesar hingga
sebesar rumah, dan berkata, ‘Dengan kekuatanku.’ Akan tetapi katakanlah,
‘bismillah’. Jika kamu berkata demikian, dia akan mengecil hingga sekecil
lalat.’” (HR. Abu Dawud) Menyebut nama Allah Ta’ala akan
meleburkan setan sebagaimana air meleburkan garam.
4.
Membebani kendaraan sesuai daya angkut
Di
antara adab berkendaraan adalah dibolehkannya berkendaraan dengan beberapa
penumpang selama tidak melebihi daya angkut kendaraan tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengkan
sebagian sahabatnya seperti Mu’adz, Usamah, Al-Fudhail, begitu juga
memboncengkan ‘Abdullah bin Ja’far dan Hasan atau Husain bersama-sama, semoga
Allah Ta’ala meridhai mereka semua.
Membebani
kendaraan melebihi daya angkut yang telah ditetapkan merupakan suatu bentuk
kedzaliman. Hal ini akan menyebabkan rusaknya kendaraan dan ini merupakan
bentuk penyia-nyiaan harta.
5.
Tidak menjadikan kendaraan semata-mata sebagai tempat duduk
Terdapat
hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah
kalian menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar
(semata-mata sebagai tempat duduk). Sesungguhnya Allah menundukkannya untuk
kalian supaya mengantarkan ke negeri yang belum pernah kalian capai kecuali
dengan bersusah payah. Dan Allah menciptakan bumi untuk kalian, maka hendaklah
kalian tunaikan kebutuhan kalian di atas tanah”. (HR. Abu Dawud)
Maksud
dari hadits ini adalah larangan untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang dalam
rangka jual beli atau yang selainnya di atas kendaraan (berupa hewan) yang
sedang berhenti. Hendaknya seseorang menunaikan keperluannya dengan cara turun
dari kendaraan dan mengikatnya di tempat yang semestinya.
Adapun
berdirinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hewan
tunggangan beliau saat Haji Wada’ adalah demi kemaslahatan yang besar. Hal ini
supaya khutbah beliau kepada para manusia mengenai perkara-perkara Islam serta
hukum-hukum yang terkait ibadah dapat didengar dengan jelas oleh
sahabat-sahabat beliau ketika itu. Apalagi, perbuatan beliau tersebut juga
tidak dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim rahimahullah, sehingga hal ini tidak membuat hewan
tunggangan merasa letih dan bosan. Berbeda dengan sekedar duduk-duduk dan
berbincang-bincang di atas hewan tunggangan yang sedang berhenti tanpa ada
maslahat, dalam waktu lama, dan dilakukan berulang-ulang maka dapat menyebabkan
hewan tunggangan merasa letih dan bosan.
Kendaraan
pada zaman ini tidak bisa disamakan dengan hewan tunggangan yang dapat merasa
letih dan bosan. Meskipun demikian, tidak selayaknya seorang pengendara
duduk-duduk dan berbincang-bincang di atas kendaraannya yang sedang berhenti
karena akan mengganggu serta menyusahkan pengguna jalan yang lain. Berhenti di
sembarang tempat juga akan mempersempit jalan yang seharusnya dapat
dipergunakan oleh pengguna jalan yang lain. Allah Ta’ala berfirman
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan
orang-orang yang menyakiti kaum mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab:
58)
6.
Memandang kendaraan yang lebih rendah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada umatnya bagaimana cara
memperkuat rasa syukur atas berbagai nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan,
yaitu dengan selalu memandang orang-orang yang berada di bawahnya dalam akal,
nasab (keturunan), harta, dan berbagai nikmat. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ
“Lihatlah
orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang yang di atas
kalian. Itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang
Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Demikianlah
paparan ringkas yang dapat kami tuliskan. Semoga kita dapat mengambil
keteladanan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Hanya kepada Allah-lah kita mohon
pertolongan.
Referensi:
- Tafsir Al-Quran Al-Karim Surat Yasin hal 150-155, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsurayya.
- Bahjah Qulub Al-Abrar hal 66, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
- Kitab Al-Adab hal 301-304, Fuad bin ‘Abdil ‘Aziz Asy Syalhubi, Dar Al-Qosam.
- Syarh Kitab Al-Qawa’id Al-Arba’ hal 22-23, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Dar
As-Salafiyyah.
- Syarh Hishnul Muslim hal 292, 298, 301, Majdi bin ‘Abdil Wahhab
Ahmad, Muassasah Al-Jaraysi Littauzi’ wal-I’lan.
***
Penulis:
Ummu ‘Ubaidillah
Artikel
Buletin Zuhairoh
Dipublikasi
ulang oleh www.muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar