Analisis
Perkembangan dan Regulasi Keuangan Syariah di Indonesia.
Shabrina
Manarul Firdaus
NIM
4121073
AS
2012 B
Keberadaan
lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang telah lama diharapkan oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam Indonesia. Umat Islam
Indonesia merindukan layanan jasa keuangan dan perbankan yang sesuai dengan
syariat Islam, khususnya berkaitan dengan pelanggaran praktik riba, jauh dari
kegiatan yang spekulatif yang serupa dengan perjudian, ketidakjelasan, pelanggaran
prinsip keadilan dalam bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan dan
investasi pada kegiatan usaha yang etis dan benar secara syariah.
Membahas tentang keuangan syariah di Indonesia,
identik dengan perbankan syariah yang telah lama berkembang hingga saat ini.
Peran perbankan syariah sangat signifikan terhadap keuangan syariah di
Indonesia maupun secara Global.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu
sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan
yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. (BI, 2007) [1]
Pada dasarnya, entitas bank
syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan keluarnya Paket
Desember 1983 (Pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi di bidang perbankan,
dimana salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan bank memberikan kredit
dengan bunga 0% (zero interest). Perkembagan dimaksud diikuti oleh
serangkaian kebijakan di bidang perbankan oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro
yang tertuang dalam Paket Oktober 1988 (Pakto 88). Pakto 88 intinya merupakan
deregulasi perbankan yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru,
sehingga industri perbankan pada waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat. (Anshori, Desember 2008) [2]
Baru pada tahun 1991
berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu-satunya yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Namun, eksistensi
bank syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan
diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, harus diakui bahwa
UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap
pengembangan bank syariah karena masih belum secara tegas mencantumkan
kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya hanya menggunakan istilah
bank bagi hasil.[3] (Wibowo, 2007)
Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai
dengan cakupan pengertian bank syariah yang relatif lebih luas dari bank bagi
hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank
syariah, maka hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang
secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah. (Arifin, 2010)
Diamandemennya UU No. 7 tahun
1992 yang kemudian melahirkan UU No. 10 tahun 1998 secara eksplisit menetapkan
bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Era
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan di Indonesia
menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Kebijakan ini
intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk memberikan
layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu
membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).[4] (Waluyo, Juli 2007)
Akibatnya pasca undang-undang ini memunculkan banyak bank konvensional yang
ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada nasabahnya.
Kemudian, pada tahun 1999
disahkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU ini menetapkan
bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Keberadaan kedua UU tersebut telah mengamanahkan Bank
Indonesia untuk menyiapkan
perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional
bank syariah sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan
yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.[5]
(Siregar, Maret 2002) Kedua UU tersebut
selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking sistem di
Indonesia, yaitu adanya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara
berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat.
Upaya pengembangan perbankan
syariah di Indonesia tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No.
10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan
sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional.
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang
beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar
dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh
karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba), transaksi yang
bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir).[6] (Siregar, Agenda Pengembangan Perbankan
Syariah) Dengan
kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan
ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi
nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh,
yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan
pertumbuhan sektor riil.
Dalam upaya pengembangan
perbankan syariah tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan nasional
mulai bergerak maju dengan memperkenalkan instrumen moneter syariah pertama
yaitu Sertifikat Wadiah BI (SWBI) di tahun 1999 dan Pasar Uang Antar-bank
berdasarkan prinsip Syariah (PUAS)pada tahun 2000.[7] (Ascarya, Januari 2012)
Di tahun 2002, BI memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah melalui PBI
Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 yang mengatur tentang:[8] (Yusuf Wibisono, Mei–Agustus 2009)
1. konversi bank konvensional
menjadi bank syariah;
2. konversi cabang
konvensional menjadi cabang syariah;
3. konversi kantor kas
konvensional menjadi cabang syariah;
4. pembukaan sub-cabang
syariah di cabang konvensional; dan
5. pembukaan unit syariah di
cabang konvensional. Peran BI ini semakin diperkuat dalam UU Nomor 3 Tahun 2004
tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999.
Kemudian, pada tahun 2006
pemberian layanan syariah semakin dipermudah oleh Bank Indonesia dengan
diperkenalkannya office channeling[9] (BI S. P.)
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/3/PBI/2006. Office
chaneling intinya adalah bahwa untuk memberikan layanan syariah Bank Umum
Konvensional yang sudah memiliki UUS di kantor pusatnya, tidak perlu lagi
membuka Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu baru melainkan cukup membuka counter
syariah dalam Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu konvensional.[10] (Abdul Ghofur Anshori, Desember 2008)
Hal ini tentu saja akan menghemat keuangan bank, karena tidak lagi memerlukan
infrastruktur baru seperti gedung, alat-alat kantor, karyawan, dan teknologi
informasi.
16 Aam Slamet Rusydiana,
“Mencandera Industri Perbankan Syariah Indonesia: Tinjauan Kritis Pasca UU 21
Tahun 2008”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 2, Desember
2008.
Selanjutnya, industri
perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang pesat semakin memiliki
landasan hukum yang memadai yakni dengan diterbitkannya Undang-Undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.[11] (Hasan, Juli 2011)
Dukungan regulasi ini tentunya akan mendorong pertumbuhan industti perbankan
syariah secara lebih cepat lagi dan diharapkan peran industri perbankan syariah
dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
UU Perbankan Syariah (UU PS)
yang memuat 70 pasal memiliki beberapa tujuan utama. Pertama,
menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi
masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Hal ini
terlihat dari ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha, ketentuan pelaksanaan
syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS,
kerahasiaan bank, serta penyelesaian sengketa. Kedua, menjamin
kepatuhan syariah (syariah compliance). Hal ini terlihat dari ketentuan
kegiatan usaha yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, penegasan
kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah
(DPS) di setiap bank syariah dan UUS, serta Komite Pengawas Syariah di Bank
Indonesia (BI). Ketiga, menjamin “stabilitas sistem”. Hal ini
terlihat dari diadopsinya 25 Basel Core Principles for Effective Banking
Supervision seperti ketentuan tentang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham
pengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewajiban pengelolaan resiko
serta pembinaan dan pengawasan.[12] (Wibisono, Mei–Agustus 2009)
Kondisi Perbankan Syariah
Nasional Terkini
Dalam cetak biru pengembangan
perbankan syariah, saat ini perbankan syariah nasional berada pada fase keempat
(2013-2015) yaitu pencapaian pangsa yang signifikan dalam kondisi mulai
terbentuknya integrasi dengan sektor keuangan syariah lainnya. Namun, dalam perkembangan
nya perbankan syariah di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan
target yang diinginkan. Dalam statistik perbankan Indonesia per Desember 2014
terdapat tidak kurang 12 Bank Umum Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah dari suatu
bank konvensional dengan total keseluruhan jaringan kantor 2.151 unit. Selain
itu, Total aset bank umum syariah mencapai 272.343 (dalam miliar rupiah).
Jumlah ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total aset perbankan
nasional secara umum yang mencapai 5.615.150 (dalam miliar rupiah).[13] (Indonesia, Desember 2014)
Artinya pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil hanya 4,85%, padahal
target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015.
Hal ini tentunya mendorong bagi praktisi perbankan syariah agar sesegera
mungkin mencari strategi pengembangan perbankan syariah secara lebih massif.
Daftar
Pustaka
Abdul Ghofur
Anshori. (Desember 2008). Sejarah Perkembangan Perbankan Syariah.
Academia. (n.d.). Retrieved from
Academia.edu:
http://www.academia.edu/7243666/BAB_28_PENINGKATAN_PERLINDUNGAN_DAN_KESEJAHTERAAN_SOSIAL
Anshori, A. G. (Desember 2008). “Sejarah
Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi
Praktik Perbankan Nasional”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba , Vol. II,
No. 2.
Arifin, V. R. (2010). Islamic Banking:
Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi 107. Jakarta: Bumi Aksara.
Ascarya. (Januari 2012). Alur Transmisi Dan
Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter
Dan Perbankan, Vol. XIV, Nomor 3 .
BI. (2007). Cetak Biru Pengembangan Perbankan
Syariah di Indonesia.
BI, S. P. (n.d.). Retrieved Desember 10,
2012. , from
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8E0EBC3E-9716-4B35-BA97-B967368C9D13/27716/SPSOct2013.pdf
Depsos. (n.d.). Retrieved from
http://renstra.depsos.go.id/
Hasan. (Juli 2011). Analisis Industri
Perbankan Syariah Di Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, Vol.
1, Nomor 1 .
Indonesia, B. ( Desember 2014). Statistik
Perbankan Indonesia , Vol: 13 No. 1.
Siregar, M. (n.d.). Agenda Pengembangan
Perbankan Syariah. 46-66.
Siregar, M. (Maret 2002). Agenda Pengembangan
Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia:
Evaluasi, Prospek dan Arah Kebijakan. Iqtisad: Jurnal Ekonomi Islam, Vol.
3, No. 1 , 46-66.
Undang-Undang. (1974). Pasal 6.
Waluyo, B. ( Juli 2007). Prinsip Ekonomi
dalam Perbankan Syariah. Jurnal Ekonomi dan Bisnis , Vol.6, No.2,.
Wibisono, Y. (Mei–Agustus 2009). Politik
Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri
Perbankan Syariah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume XVI,
Nomor 2, ISSN 0854-3844 , hlm. 105-115.
Wibowo, M. G. (2007). Potret Perbankan
Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini 2.
Yogyakarta: Biruni Press.
Yusuf Wibisono. (Mei–Agustus 2009). Politik
Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan
Syariah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. XVI, Nomor 2, .
[1]
BI. (2007). Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah
di Indonesia.
[2]
Anshori, A. G. (Desember 2008). “Sejarah Perkembangan
Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan
Nasional”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba , Vol. II, No. 2.
[3]
Wibowo, M. G. (2007). Potret Perbankan Syariah
Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini 2.
Yogyakarta: Biruni Press.
[4] Waluyo,
B. ( Juli 2007). Prinsip Ekonomi dalam Perbankan Syariah. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis , Vol.6, No.2,.
[5] Siregar,
M. (Maret 2002). Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem
Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek dan Arah Kebijakan. Iqtisad:
Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 3, No. 1 , 46-66.
[7]
Ascarya. (Januari 2012). Alur Transmisi Dan
Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter
Dan Perbankan, Vol. XIV, Nomor 3 .
[8]
Wibisono, Y. (Mei–Agustus 2009). Politik Ekonomi
UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume XVI, Nomor 2, ISSN 0854-3844
, hlm. 105-115.
[9]
BI, S. P. (n.d.). Retrieved Desember 10, 2012. ,
from
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8E0EBC3E-9716-4B35-BA97-B967368C9D13/27716/SPSOct2013.pdf
[10]
Abdul Ghofur Anshori. (Desember 2008). Sejarah
Perkembangan Perbankan Syariah.
[11]
Hasan. (Juli 2011). Analisis Industri Perbankan
Syariah Di Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, Vol. 1, Nomor 1
.
[12]
Wibisono, Y. (Mei–Agustus 2009). Politik Ekonomi
UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume XVI, Nomor 2, ISSN 0854-3844
, hlm. 105-115